Pada Suatu Hari Di Dekade Yang Lalu…

13680952_894884910638041_2248064514444637418_n
dok. didit no mans land

Beberapa tahun yang lalu, sejumlah pemuda yang hobi musik keras punya ide gila untuk merancang konser underground yang pertama di Malang. Setahun sebelumnya mereka udah membentuk Total Suffer Community (TSC), sebuah institusi bawah tanah yang anehnya terdaftar sebagai organisasi legal di Pemda Malang (?!). Mereka itu kumpulan anak belasan tahun yang masih mengkultuskan jargon-jargon sakti macam “Support your local underground scene!”, “Fuck off trendy!”, atau “Commercial sucks!’.

Gagasan bikin konser underground itu muncul tiba-tiba. Yah, anak-anak ini sungguh naif. Tidak profesional namun sangat emosional. Tekad mereka hanya satu, “Jangan sampe Malang kalah ama kota-kota lain. Scene Underground di Malang harus disegani di negeri ini!”. Yah, sesederhana itu aja. simpel dan naif.

Harus diakui, scene Malang memang dekat dan terpengaruh Bandung sejak dulu. Proyek ini pun terobsesi oleh acara serupa yang sudah digelar di Bandung, seperti Hullabaloo (1994), Bandung Berisik (1995) Gorong-Gorong Bdg (1996), dan Bandung Underground (1996).

Setelah beberapa kali rapat dari rumah ke rumah, diskusi di setiap tongkrongan TSC di depan kantor Kabupaten Malang, akhirnya mereka sepakat membentuk panitia kecil yang bekerja secara sporadis. Sama sekali bukan orang-orang yang berpengalaman di bidang event organizer. Meski segilintir anak pernah mencicipi rasanya bikin event kecil di SMA-nya masing-masing.

Akhirnya titel acara diputuskan. Simpel namun powerful. Band pengisi acara juga udah di-list. Sebagian besar justru dari ‘oknum’ panitia dan kalangan orang dalam juga ang manggung – hingga seolah-olah ini seperti proyek bikin acara sendiri, main-main sendiri, dan ditonton sendiri.

Sponsor? Fukken hell! Jaman itu mana ada distro atau pengusaha clothing? Korporat pun pasti mikir-mikir untuk men-support acara yang gak jelas ini. Modal acara ini murni swadaya: hasil patungan panitia, bahkan band yang main pun musti bayar! Semua dana yang masuk langsung habis untuk sewa gedung, urus ijin keramaian, sewa sound system yang butut, publikasi, dan lain-lain.

Selebihnya panitia hanya bermodal semangat dan tekad bulat saja. Seakan mereka sudah teken kontrak mati dan siap bekerja keras, rela banting tulang dan begadang, untuk menyiapkan acara ini. Semua saling membantu dengan rasa solidaritas dan kekeluargaan. Gak akan pernah mundur, proyek ini harus terwujud!

Panitia mulai bagi tugas. Ada yang dandan rapi jali setiap hari pake kemeja dan bawa map lusuh keluar-masuk kantor pemerintah untuk urus ijin acara. Yang tampangnya serem ditugasi menagih sumbangan atau patungan dari anggota panitia dan band. Yang hobi gambar mulai bikin sketsa pamflet, tiket, ID card dan backdrop – yang langsung di-sablon sendiri dengan cara sederhana. Yang doyan jalan dan begadang ditugasi fotokopi serta keliling menyebar atau memasang pamflet yang bergambar kartun jahat. Ada juga yang rajin mengurusi rundown band seolah-olah dia seorang stage manager yang handal. Sisanya standby di sekretariat panitia dalam kondisi siap menjalankan tugas yang lain!…

Hari itu Minggu, 28 Juli 1996, obsesi anak-anak itu terwujud. Parade Musik Underground (PMU) resmi digelar di gedung Sasana Asih YPAC Malang. Bands yang main berturut-turut adalah ; Ritual Orchestra, Knuckle Head, Confusion, Sektor Death, Zombie, Succubus, Radical Squadron, Hippies Local, Glorious Butchered, Brain Maggots, Vindictive Saviour, Satanaz, Mutant, Courvoisier, Sacrificial Ceremony, Obnoxious, Sinner (Sby), Grindpeace, Santhet, Ingus, Sekarat, Musyrik, Bangkai, Genital Giblets, No Man’s Land, The Babies, Perish, Slowdeath (Sby) dan Rotten Corpse.

Crowd? Gak terlalu banyak. Sekitar 500-an kepala datang dengan sangat antusias, tertib dan penuh totalitas seperti sedang merayakan ‘lebaran’-nya. Untuk pertama kalinya di kota Malang terjadi konsentrasi massa bawahtanah yang cukup masif. Lengkap dengan dandanan khas dan nyeleneh seperti kaos metal item-item, gondrong dan mendadak bule, corpsepaint, rambut mohawk warna-warni hasil karya lem kayu dan zat pewarna kue, atribut rantai, peniti besar dan kalung gembok.

Ya, hari itu seperti hari raya underground lokal. Semua tampak bersenang-senang, belum sadar kalau sekian tahun kemudian mereka semua adalah saksi sejarah!

Lalu untung berapa panitia? Huh, balik modal aja enggak! Tapi panitia cukup puas dan tidak pernah menyesali proyeknya. Sebab PMU akhirnya menjadi landmark gigs cadas di Malang. Itu jadi langkah awal yang monumental. Karya kecil namun dampaknya penting. Itu kalau kita mau riset berapa anak muda yang akhirnya memutuskan membentuk band setelah menonton acara tersebut. Atau berapa anak yang akhirnya merasa yakin bahwa bikin gigs itu ternyata mudah dan bisa dilakukan. Juga hitung berapa banyak anak yang akhirnya memutuskan betah dan eksis di scene cadas ini hingga sekian lama. Akhirnya, scene Malang mulai aktif dan produktif dalam berkarya, serta diakui eksistensinya di negeri ini.

PMU sendiri malah sempat jadi serial konser underground lokal terbesar di Malang. Di tahun-tahun berikutnya sudah mampu mengundang band-band luar kota Malang yang berbahaya. Hingga akhirnya event ini telah mencapai sekuel-nya yang ketiga di tahun 1998.

Yah, ini cuma cerita kuno dari kejadian beberapa tahun yang lalu. sebuah romantisme jaman dulu. Kisah kecil yang mungkin gak penting buat anda. Jaman sudah berubah. Biarlah ini jadi catatan sejarah saja…

*Naskah ini ditulis pada tahun 2006 untuk materi situs Apokalip. 

14 thoughts on “Pada Suatu Hari Di Dekade Yang Lalu…

  1. ID Card pengisi acara yo aku masih ada… bangga aku pernah menjadi salah satu pengisi acara…hehehe…

Leave a reply to sesikopipait Cancel reply