SEBUAH SENI UNTUK MEREKA YANG TERUS BERDANSA DI DAPUR

Atas nama seni, perut juga kudu kenyang!    

Soul Kitchen berlagak jadi ajang pameran seni rupa dalam wujud toys dan artworks, dengan tema utamanya adalah kuliner. Gelaran ini bermaksud merespon fenomena sekaligus tren usaha kuliner yang konon memang lagi marak di Malang Raya belakangan ini.

Memang sih, akhir-akhir ini anak muda yang membuka usaha kuliner atau menjadi chef seperti fenomena baru selepas tren usaha coffee shop atau menjadi barista yang sudah berjalan di Malang Raya dalam satu dekade terakhir.

Sebentar. Kenapa hal ini menjadi makin menarik?

Konon katanya para pelaku usaha kuliner di Malang Raya banyak yang berasal dari muda-mudi yang juga berkecimpung di komunitas musik independen. Seperti misalnya ada anak band yang nekat buka depot, ada musisi yang beralih jadi tukang masak dadakan, bahkan ada organiser gigs yang buka warung makan.

Seberapa banyak kawan anda yang memilih memasak atau buka warung di hari kerja, lantas tetap bermain band atau menonton gigs di akhir pekan?

Saya jadi heran lantas menduga-duga: Dari mana ya mereka tiba-tiba punya gagasan untuk buka usaha kuliner?

Apa mereka memang hobi memasak akibat didikan keluarga di dapur rumahnya? Apa disebabkan doyan menonton tayangan Master Chef di televisi? Apa karena mengidolakan Anthony Bourdain atau William Wongso? Uhm, entah ya. Coba langsung tanyakan pada mereka saja kalau ketemu.

Selain yang namanya usaha itu pasti soal bisnis dan cuan. Kalau kita cermati, memang ada passion yang kuat dan karakter yang khas dari setiap usaha kuliner yang dijalankan kawan-kawan di sini. Mulai dari pemilihan nama, logo, artistik visual, dekorasi, gaya promosi dan pemasaran, hingga konsep menu yang telah dipikirkan matang-matang.

Mereka juga tidak selalu jalan sendirian. Tercatat ada beberapa kali proyek kolaborasi lintas brand, depot, maupun menu spesial dalam berbagai kesempatan. A good thing.

Demografi konsumennya tentu saja kebanyakan anak muda dengan selera dan gaya hidup yang serupa. Malah mungkin kebanyakan tamunya justru teman-teman sendiri, atau dari tongkrongan skena di sekitarnya. Sudah saling kenal dan sapa satu sama lain. Kerap berbagi meja dan kursi. Saling icip menu hingga yang “undertable” sekalipun. Singkatnya, makan di depot-depot itu tadi serasa datang ke acara gigs yang intim. Bersama kadar kebahagiaan yang bisa muncul melebihi standar rasa kenyang di perut.      

Maka tidak aneh kalau anda berkunjung ke depot-depot tersebut bakal menemui chef yang berkaos Joy Division, pelayan yang berkaos Morfem, atau bahkan penjaga kasir yang berkaos Mayhem. Belum lagi playlist di depotnya yang rasanya tidak jauh-jauh dari algoritma playlist Spotify anda. Ya, pemandangan seperti itu sangat lumrah ditemui untuk saat ini.

Hal yang menarik lainnya dari tongkrongan orang-orang pelaku kuliner ini – selain tetap hobi mengobrol soal musik terbaru atau jadwal gigs terdekat – mereka jadi hafal di mana tempat beli bumbu dapur yang murah? Berapa harga beras atau cabe merah hari ini? Di mana membeli ikan yang paling segar? Atau bagaimana caranya mengolah daging supaya empuk?  

Depot-depot yang terlibat di Soul Kitchen kemungkinan besar sudah pernah anda kunjungi atau tahu namanya dari aneka akun kuliner dan rekomendasi food blogger di Instagram serta TikTok. Mungkin mereka tidak akan dipuji Chef Arnold apalagi dilirik oleh juri Michelin. Ya tidak apa-apa. Toh masih ada kita, kawan-kawan di sekitar.

Urusan makan dan perut juga kadang menjadi pilihan sikap yang terlampau “ideologis” bagi sebagian anak muda. Apalagi jika mereka berpegangan pada gagasan penguatan jenama, isu lokalitas, jargon “support your local business”, dan blablabla. Uhm, tidak usah pakai teori berat-berat dulu deh. Dukung saja setiap usaha kawan yang ada di sekitar. Saling menguatkan. Secukupnya. Layaknya sebagaimana kolektif seni/musik itu berjalan – yang tentunya telah kita pahami bersama.

Kalau anda berada di warung Nyaman pada hari-hari di mana Soul Kitchen sedang menghidangkan menu pamerannya, silakan cek satu-persatu dengan seksama. Di situ ada karya para seniman dari kolektif The Lidos seperti Novantri Sumohadi, Sigit Jawaika, Sandra, Sugab, Rino, Bonor, Esti, Tommy Cash, hingga Wahyu Diecast. Mereka coba mengunyah “rasa” yang dihadirkan oleh suasana depot beserta para tukang masaknya, lantas merespon semua itu bersama Gembira Lokaria dalam wujud karya seni serta aktivasi lainnya.

Saya curiga, pasti ada kajian yang lebih ilmiah nan komprehensif soal keterkaitan antara seni dan kuliner. Pasti ada. Hanya saja saya terlampau malas untuk mencarinya. Sebagai produk kerja kebudayaan, saya yakin apa yang terjadi di Soul Kitchen pasti ada maknanya yang sanggup mengenyangkan segala indera perasa anda.

Apalagi, semua orang khan memang butuh makan. Kerja-kerja kebudayaan pun kudu tetap jalan. Persis seperti pesan mama, “Ben-benan boleh, dateng ke gigs ya boleh, asal maem sek!”

Malang, 03 Desember 2023
Samack

*Ini semacam catatan pinggir yang saya tulis untuk pameran Soul Kitchen di Nyaman, Malang.

Leave a comment