Catatan Seorang Moderator

Jika ayat pertama itu berbunyi ‘Bacalah!’, maka ayat kedua pastinya berbunyi ‘Tulislah!’”

Rabu malam lalu, 01 Juni 2011, diadakan diskusi jurnalisme musik dan bedah buku “Like This ; Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat 2009-2010” di Toko Buku Toga Mas Malang. Acara ini diprakarsai oleh Majalah Sintetik bekerjasama dengan Jakartabeat, Solidrock dan Toga Mas. Tema yang diangkat adalah “…Dan Jurnalisme Musik Untuk Semua ; Menyulut Gairah Dan Budaya Menulis Di Kalangan Siapa Saja”. Sebagai narasumber telah hadir M.Taufiqurrahman [Jakartabeat], Idhar Resmadi [Jakartabeat] dan M.Hilmi [Majalah Sintetik]. Nah, kebetulan saya yang didaulat untuk menjadi moderator acara diskusi ini. Nah, daripada catatan di kertas kecil saya terbuang percuma, sebaiknya saya rekap kembali di note ini. Berikut catatan kecil saya dari ajang diskusi malam itu…

Sekitar pukul setengah delapan malam, setelah aksi akustik yang cantik dari My Beautiful Life, saya buka sesi diskusi dan bedah buku ini dengan salam pembuka, sedikit prolog tentang tema diskusi, serta memperkenalkan ketiga narasumber kepada puluhan kepala yang duduk lesehan di sudut ruangan belakang Toga Mas. Para narasumber itu pun mulai angkat suara menyampaikan pengantar diskusinya masing-masing…

Pembicara pertama, Taufiq Rahman, mulai bercerita soal sejarah situs Jakartabeat.net yang berawal dari blog Berburu Vinyl yang digagasnya bersama Philip J Vermonte saat mereka studi di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Taufiq Rahman mengaku kalau mereka berdua nekat bikin blog hanya karena mereka punya passion di dua hal, yaitu musik dan menulis – tentunya sambil sekalian ‘memamerkan’ hasil buruan vinyl mereka kepada publik. Semacam ajang pamer? Narsis? Pencitraan? Yah, mungkin seperti itu awalnya. Namun semua ulasannya tetap ditulis secara serius dan mendalam.

Setelah itu, wartawan harian Jakarta Post ini mulai masuk pada bahasan soal jurnalisme musik. Dia membongkar segala keresahannya atas jurnalisme musik masa kini yang menurutnya mulai absurd, melemah dan kurang tajam. Dia mengupas pula soal bagaimana menulis artikel musik yang berdaya-guna. Termasuk juga tentang [apresiasi] musik yang mustinya diperlakukan secara serius, sebab ada banyak proses kreasi musik yang telah dikerjakan secara serius oleh para musisi dan memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi sosial-budaya di sekitarnya. Dia lalu mencontohkan apa yang telah dilakukan oleh para penulis/kontributor selama ini melalui situs Jakartabeat dan naskah buku Like This.

Idhar Resmadi, selaku pembicara berikutnya, bertutur soal keterlibatannya yang cukup panjang di dunia tulis-menulis. Sarjana Jurnalistik Fikom Unpad Bandung ini menceritakan pengalamannya saat dijejali teori-teori jurnalistik di bangku kuliah, selama tujuh tahun. Juga ketika menjabat sebagai editor majalah independen Ripple Magazine dan menjadi freelance contributor di berbagai media massa. Ternyata memang passion atau gairah yang lebih banyak berbicara, katanya.

Kedekatan Idhar Resmadi dengan scene lokal juga ikut mengembangkan wacananya tentang bagaimana peran jurnalis/media independen dalam memajukan scene musik lokal. Tentang kenapa ulasan sebuah scene kecil, band indie, venue gigs, atau profil seorang kolektor musik di sekitar kita itu bisa jauh lebih penting serta bermanfaat dibandingkan dengan liputan konser band bule yang sudah terkenal atau profil seorang Lady Gaga atau Justin Bieber, misalnya.

Pembicara ketiga, Hilmy, menambahkan sedikit tentang awal mula berdirinya Majalah Sintetik. Dia bersama empat temannya mengaku bikin Majalah Sintetik atas dasar dendam karena situs musik lokal, Apokalip.com, tiba-tiba menghilang dan mereka juga gagal menang di ajang kontes menulis Jakartabeat. Sungguh itu sebuah pelampiasan dendam yang positif dan layak diteladani.

Hilmi lalu cerita soal suka-duka serta pengalamannya dalam mengelola media independen yang masih belia. Termasuk dukungannya pada scene musik minor dan band-band kecil [underground/underdog]. Juga perlunya jiwa kritis dalam menulis atau mengulas band/album sekalipun itu karya teman-temannya sendiri, tambahnya.

Setelah ketiga pembicara selesai menguraikan bahasannya, saya langsung membuka sesi tanya-jawab kepada forum yang ingin mengajukan pertanyaan maupun tanggapan berkaitan dengan topik diskusi malam itu…

Pertanyaan pertama, datang dari seorang lelaki dengan raut muka polos dan serius ala mahasiswa. Sang penanya ini tampaknya agak resah terhadap konsep atau metode jurnalisme yang telah diuraikan oleh para narasumber barusan, “Saya pernah diajarkan bahwa untuk menulis itu kudu obyektif. Sementara yang disampaikan oleh para pembicara tadi seolah-olah hal itu gak penting dan wajar-wajar saja bersikap subyektif dalam menulis. Lah, bukannya penulis itu musti obyektif yah? Nah, saya jadi pengen tahu, di mana sih letak obyektifitas itu dalam proses menulis?…”

Pertanyaan ilmiah yang sangat mendasar itu kemudian dijawab bergantian oleh ketiga narasumber. Intinya bahwa obyektifitas itu bisa bahkan sudah mati di tangan penulis. Sebab, kadang tidak ada fakta atau berita dalam tulisan, yang ada adalah kepentingan. Fenomenanya sekarang, banyak penulis yang berlindung di balik kata ‘obyektifitas’ untuk menyamarkan fakta dan kejujuran. Tulisan pun bisa jadi tumpul, mati atau kurang hidup jika terlalu obyektif [baca ; datar-datar saja]. Penulis mulai takut dan kuatir, mereka tidak berani menyuarakan opini atau pendapatnya. Salah satu tulisan yang paling obyektif sementara ini adalah berita, yang umumnya singkat dan hanya memuat fakta-fakta akurat. Selebihnya itu adalah ruang persepsi dan opini penulis. Jadi konsep obyektifitas dalam jurnalisme sebenarnya adalah sesuatu hal yang usang untuk saat ini. Jaman sekarang, sah-sah saja menulis secara subyektif dan tidak kudu terpatok pada teori obyektifitas.

Pertanyaan kedua, dari seorang perempuan yang mengaku jadi pengajar di sebuah institusi pendidikan. Dia menyampaikan hal yang menarik, “Well, tadi yang disampaikan oleh pembicara semuanya bagus dan keren sih. Bahwa kita kudu mendengarkan band-band yang bagus dan musik-musik yang berkualitas. Kalau bisa menulis musik dengan bagus pula. Tapi kayaknya itu semua tidak sesuai dengan realita yang ada di hadapan kita sekarang. Lihat saja, setiap pagi kita disuguhi musik-musik yang ‘buruk’ di televisi. Industri musik dan pemerintah pun tampaknya tidak berpihak pada selera musik yang bagus belakangan ini. Mereka jarang bahkan tidak pernah peduli pada selera musik anak muda sekarang. Otomatis siswa-siswa saya juga mendengarkan musik-musik pop melayu dan mereka pun pada akhirnya suka. Saya jadi pesimis, bagaimana kita bisa merubah fenomena yang sudah terlanjur berjalan seperti ini?!…”

Pernyataan kritis ini pun ditanggapi secara serius dan antusias oleh ketiga narasumber. Bahwa kita semestinya tidak perlu bergantung pada industri atau pemerintah untuk mengembangkan selera musik yang berkualitas. Banyak musisi-musisi bagus yang tidak punya ruang untuk mengenalkan karyanya kepada publik. Orang-orang seperti mereka itu yang musti diberi kesempatan. Banyak musik bagus di luar sana, di ruang sempit yang belum terjamah industri dan pemerintah. Anak muda atau pelajar pun bisa diedukasi agar mereka bisa dapat wawasan seni/musik yang berkualitas. Mereka mencontohkan, ada guru yang berani memutar video musik Armada Racun dan Efek Rumah Kaca di hadapan siswanya, dan lalu mendiskusikannya bersama di dalam kelas. Soal dukungan pemerintah, pembicara menjelaskan bahwa dulu sempat ada kebijakan yang melarang musik-musik cengeng di era Menpen Harmoko. Meski jadi kontroversi, namun toh akhirnya ikut melahirkan banyak musisi pop/rock nasional yang berkualitas di jaman itu. Bahkan, Perdana Menteri Tony Blair pernah mengeluarkan kebijakan yang mendukung penuh gerakan musik britpop untuk meredam invasi musik Amerika Serikat [baca; grunge & alternatif] di tanah Britania pada era 90-an. Cara-cara itu terbukti cukup jitu dan berhasil dalam mengembangkan wawasan musik anak muda di jamannya. Sekarang? Yah, pemerintah kita melempem soal kebijakan di bidang seni/musik meski konon Indonesia dipimpin oleh presiden yang bisa bernyanyi dan rilis album.

Pertanyaan ketiga, dari seorang pria dengan dandanan rock & roll yang berprofesi sebagai musisi lokal. Dengan penuh semangat dia bercerita sambil mengeluh, “Saya punya band, namanya xxxxx. Kami ini sering tampil di berbagai event dan gigs di Malang. Hanya saja kami bingung, kadang dianggap band indie, kadang juga bukan. Kami malah pernah nanya ke band lain, apakah kalian band indie? Jawabnya bukan, mereka band punk katanya. Gak mau dianggep indie. Nah kami jadi bingung lagi. Jadi sebenernya yang band indie itu gimana sih sebenernya?! Trus gimana komentar anda melihat fenomena-fenomena seperti ini?!”

Selaku pengamat musik, para narasumber hanya menyampaikan bahwa idiom atau pelabelan semacam itu rasanya sudah gak aktual lagi. Gak perlu terlalu banyak diperdebatkan pula. Indie, underground, DIY atau apapun sebutannya itu hanyalah proses dan cara kerja saja. Diskriminasi antar genre atau komunitas juga tidak akan memberikan manfaat bagi scene musik pada umumnya. Yang terpenting bagi setiap musisi/band adalah bagaimana tetap eksis dan terus berusaha menciptakan karya musik dengan kualitas yang bagus.

Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ini artinya sesi diskusi sudah berjalan sekitar dua jam dan kudu segera saya akhiri. Yah, sayang sekali ada kontrak waktu yang terbatas dengan pihak penyedia tempat. Jadi maaf untuk para hadirin yang belum sempat bertanya atau beropini di ajang diskusi yang cukup hangat dan berbobot ini. Toh, melalui diskusi yang singkat ini semoga bisa memberi banyak manfaat bagi kita semua. Sebagai penutup acara, kami sajikan sesi hiburan berupa aksi akustik dari Bambang [The Morning After] bersama suara merdu dan gitar bolongnya. Akhir kata, selamat malam dan sampai jumpa lagi bung!…

[samack]

Terima kasih banyak kepada Taufiq Rahman & Idhar Resmadi dari Jakartabeat. Hilmy, Komang, Eko, Rino & Agung dari Majalah Sintetik. Ratih & mobilnya yang segarang bis Puspa Indah. Nuran Wibisono yang jauh-jauh datang dari Jember sebelum ke Jerman hanya untuk memotret dan menjaga lapak buku Like This di Mlg. Syaban & The Morning After. Norman Bahagia & My Beautiful Life. Wewe & TB Toga Mas. Serta semua kawans yang hadir & pihak yang membantu proses diskusi ini.

Eh ya, maav jika ada salah kutip atau kekurangan dalam pernyataan narasumber dan pertanyaan hadirin di atas. Mungkin catatan saya yang kurang komplit malam itu. Tapi toh ada masih hak jawab di kolom comment yang tersedia di bawah ini untuk menyempurnakan segalanya. Mari kita manfaatkan untuk tanya, jawab, dan ralat. Hehe.

Baca juga tulisan-tulisan penting yang terkait dengan momen diskusi ini ;

http://www.jakartabeat.net/musik/kanal-musik/ulasan/598-dari-perjalanan-tur-buku-like-this-ke-bandung-yogya-dan-malang.html

Tulisan ini telah diposting juga di: http://wearesolidrock.tumblr.com/

Leave a comment