Sebuah Kisah Heroik Dari ‘Bawah Tanah’ Kota Malang

Benarkah kota Malang sudah rock n’ roll sejak tempo doeloe? Bagaimana progres musik rock di kota ini? Lalu seperti apa sebenarnya komunitas underground itu? Siapa mereka dan apa saja yang dikerjakan? Apa bedanya underground dengan indie? Silahkan simak sebuah esai historis tentang perkembangan budaya musik cadas di kota Malang. Suatu lingkungan unik yang telah mengenalkan generasi muda Malang pada terminologi rock, metal, punk, hardcore, grunge, underground hingga indie. Sebuah eksistensi yang telah melampaui tiga dekade, lintas generasi, ribuan anak muda, ratusan karya, dan semuanya masih terus bekerja…

Era 1970 – 1980-an ; Periode Anak Emas Generasi Rock Indonesia

Sejak tahun 70-an, Malang sudah dikenal sebagai kota yang memiliki aura rock n’ roll yang kuat di negeri ini. Predikat ini melekat bukannya tanpa alasan. Malang sempat jadi tanah pijakan awal bagi eksistensi dan karir para musisi rock terkenal tempo doeloe. Sebut saja nama seperti Bentoel Rock Band, Ian Antono, Micky Jaguar, Sylvia Saartje, Ucok AKA, Abadi Soesman, atau Totok Tewel bersama Elpamas-nya.

Memang para pionir rock di atas baru mencapai tapak popularitasnya setelah melanjutkan karir ke Jakarta, yang notabene pusat industri musik di negeri ini. Mitos klasik bahwa musisi daerah kalau ingin sukses musti hijrah ke ibukota memang tidak bisa dipungkiri, dan hampir benar adanya. Sentralisasi industri musik nasional malah cenderung melanggengkan keabsahan rumus yang terkadang masih berlaku hingga sekarang itu.

Sejak era ’70-an, selera kuping arek Malang memang tidak pernah bergeser jauh dari genre (jenis) musik rock – mulai dari yang bernuansa hardrock, slowrock, folk-rock, art-rock atau psychedelic rock sekalipun. Komposisi musik seperti yang dimainkan Led Zeppelin, Genesis, Rolling Stones, Janis Joplin, The Doors, Uriah Heep, Yes, Deep Purple, Rainbow, Pink Floyd, Queen, atau Rush adalah nama-nama paten yang digilai publik Malang saat itu.

Penampilan para musisi lokal juga selaras dengan trend band rock nasional generasi 70-an seperti Cockpit (Jakarta), Grass Rock (Surabaya), Trencem (Solo) Godbless (Jakarta) atau Giant Step (Bandung). Mereka semua lebih sering membawakan karya lagu musisi luar dan cenderung malas menulis lagu sendiri. Hingga bisa dibilang hanya sedikit sekali rekaman album bahkan sekedar demo yang sempat dirilis di jaman itu.

Bahkan dalam setiap pertunjukan, arek-arek Malang hampir selalu menuntut mereka untuk tampil ‘persis kaset’ istilahnya. Penonton saat itu tidak terlalu peduli dengan karya lagu asli band-band itu dan hanya sekedar ingin memuaskan seleranya. Cuma segelintir band yang boleh pede mengusung karya lagunya sendiri dan disambut positif oleh massa. Maka tidak ada jalan lain bagi band selain tampil dengan sempurna membawakan lagu-lagu karya musisi luar yang jadi favorit penonton di jaman itu.

Hingga akhirnya beberapa band dan musisi selalu identik dengan band luar panutannya. Seperti Grass Rock sering disebut sebagai band yang spesialis menyanyikan Yes atau Marillion. Micky Jaguar adalah seorang Mick Jagger dengan gaya urakan ala Ozzy Osbourne. Sylvia Saartje sempat dianggap titisannya Jonis Joplin. Elpamas hanya akan mendapat aplaus jika membawakan komposisi dari Pink Floyd. Totok Tewel dkk bahkan pernah sukses ketika berkolaborasi dengan Sylvia Saartje dalam karya epik Pink Floyd yang berjudul The Great Gig In The Sky.

Terbukti, hanya itu siasat jitu yang mampu menarik apresiasi positif di panggung rock ’70-an. “Wah, dulu kalo Cockpit manggung bawain lagunya Genesis, Freddy Tamaela (vokalis) gak perlu nyanyi lagi, sebab penonton satu gedung udah nyanyi semua saking hapalnya!” cerita beberapa orang yang pernah mengalami serunya pertunjukan musik di Malang pada era ’70-an itu.

Kota Malang memang dikenal sebagai salah satu daerah sakral untuk konser musik cadas, dan kerap menjadi momok bagi para rocker nasional. Apresiasi publik yang kritis menjadi salah satu alasan utama angkernya pertunjukan rock di kota ini.

Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!” ujar Jaya, gitaris grupband Roxx yang sempat ditemui penulis saat event Soundrenaline 2004 di Stadion Gajayana Malang. “Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!”

Sudah banyak kisah musisi rock lokal maupun luar kota yang coba ‘menaklukan’ hati dan telinga penonton Malang yang terkadang agak liar. Sebagian memang sukses, namun lebih banyak di antaranya yang gagal total. Mereka yang gagal tampil sesuai keinginan penonton akan sangat beruntung jika hanya mendapat cemooh dan caci-maki saja. Sedangkan musisi yang apes justru akan mendapat lemparan benda-benda aneh dari penonton, atau bahkan dipaksa turun dari panggung.

Tempat pertunjukan (venue) yang sering dipakai ajang konser rock saat itu adalah GOR Pulosari yang terletak di bilangan jalan Kawi. Desain arsitektur gedung tersebut cukup unik dan sangat ‘bawah tanah’ sekali. Venue itu dibangun pada cerukan tanah yang dalam serta dikelilingi tribun kayu dengan sebuah panggung besar di bawahnya. Konstruksi tersebut menjadikan GOR Pulosari sebagai hall yang kedap suara dan dianggap memiliki akustik yang cemerlang untuk sebuah pertunjukan musik.

Sejak tahun ’70-an, GOR Pulosari selalu menjadi tempat konser bagi para musisi lokal maupun nasional. Nama-nama yang pernah merasakan serunya venue ini antara lain ; Panbers Trencem, Godbless, Grass Rock, Elpamas, Micky Jaguar, Ikang Fawzi, Gito Rollies, Deddy Stanzah, Nicky Astria, Ita Purnamasari, Slank, Dewa, dan masih banyak lagi. Konon GOR Pulosari dianggap memiliki aura yang ganjil dan kisah tersendiri bagi sebagian musisi.

Cockpit dan Elpamas adalah dua nama yang sering mendulang histeria massa ketika tampil di Pulosari. Di lokasi yang sama, Micky Jaguar pernah meminum darah kelinci dan langsung ditahan aparat di atas panggung. Dewa 19 dan Slank tercatat beberapa kali manggung di sana dan tidak pernah sukses. Bahkan Ita Purnamasari dan Nicky Astria pernah pulang menangis setelah menjalani show yang kejam di venue tersebut. Tak ayal, GOR Pulosari sering menyisakan banyak cerita dan misteri tersendiri yang sulit diduga.

Serial festival musik rock yang digagas promotor kondang Log Zhelebour juga sering menempatkan Malang sebagai salah satu kota pertunjukan, di samping Surabaya tentunya. Dari situ media massa ikut melahirkan klaim bahwa Surabaya dan Malang adalah barometer musik rock nasional. Ajang festival tersebut juga turut mendongkrak nama grupband Balance (Malang) yang masuk dalam daftar album kompilasi 10 Finalis Rock Festival V produksi Loggis Records (1989).

Selama kurun waktu dua dekade itu, kota Malang memang lebih sering ‘mengekspor’ bibit-bibit rocker pionir untuk berkarir ke Jakarta. Sementara para musisi rock nasional terus berlomba ingin menjajal kemampuan mereka di atas panggung kota Malang. Saat itu Malang sudah memiliki segudang seniman, musisi, pengamat serta penonton yang sangat kritis dan terbilang cerdas.

Era 1990 – 1995 ; Periode Rock Bergema

Memasuki era 90-an, musik rock terdengar makin keras dan ekstrim di seluruh penjuru negeri ini, tak terkecuali di Malang. Nuansa metal mulai mewarnai evolusi selera dan minat arek-arek Malang di jaman itu. Trend musik metal dalam berbagai tipe seperti heavymetal, speedmetal maupun thrashmetal sedang menyeruak dan dipuja-puja anak muda.

Perkembangan yang signifikan juga terjadi pada peta musik cadas kota Malang. Gemma (Generasi Musisi Muda Malang) muncul sebagai komunitas yang aktif menggelar pertunjukan musik keras di seputar kota ini. Selain venue klasik GOR Pulosari, gedung DKM (Dewan Kesenian Malang) di daerah Comboran mulai menjadi alternatif lokasi konser musik lokal.

Kelompok musik yang cukup populer saat itu adalah Dye Maker, Gusar, Mayhem, Epitaph, Abstain, Megatrue, Nevermind, Primitive Symphony, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu yang sering berkibar di panggung masih seirama dengan isi rak koleksi kaset mereka, seperti Metallica, Megadeth, Kreator, Slayer, Sepultura, Testament, Anthrax, Iron Maiden, Overkill sampai Helloween.

Aktifitas dan gaya hidup mereka selalu tampak di setiap akhir pekannya. Anak-anak muda itu kerap nongkrong di areal lapak kaset bajakan dan jajaran seniman pelukis foto di deretan toko buku Siswa. Dandanan mereka cukup khas dan mudah dikenali. Rambut gondrong, kaos hitam, jins ketat dan sepatu kets yang dipadu dengan asesoris kalung, anting atau gelang metal.

Media radio mulai terbuka dan ikut mendukung progres musik rock/metal saat itu, salah satunya adalah radio Senaputra. Stasiun radio yang ber-frekuensi AM itu setiap minggunya selalu memutar musik cadas, termasuk karya-karya band lokal. Pada jam siaran yang bising itulah Senaputra kerap ditongkrongi oleh anak-anak muda yang datang membawa kaset rekaman, me-request lagu dan secara tiba-tiba memasang marga ‘Cavalera’ atau ‘Petrozza’ di belakang namanya.

Sosok Ovan Tobing adalah nama paten yang mengasuh program rock di radio Senaputra. Beliau dikenal memiliki figur dan wibawa yang kuat di kalangan rocker maupun anak muda Malang. Pria yang akrab dipanggil Bung Ovan ini juga spesialis MC untuk sejumlah konser rock penting di Jawa Timur, seperti pada serial Festival Rock, Sepultura (1992) dan Helloween (2004).

Tugas Bung Ovan dalam memandu program rock di Senaputra kemudian dilanjutkan oleh (alm) Bung Tosa beserta yuniornya yang lain. Program tersebut masih berlanjut hingga hari ini dan selalu memutar lagu-lagu karya band lokal, nasional maupun internasional. Sejumlah grupband mulai dari Rotor (Jkt), Tengkorak (Jkt) hingga Burgerkill (Bdg) menyempatkan mengunjungi radio itu dalam rangka promo dan wawancara on-air.

Terakhir kali Senaputra melakukan talkshow dengan Burgerkill (Bandung) pada bulan Juli 2006 lalu. “Wah, ini pertama kalinya kita diwawancarai ama radio frekuensi AM. Salut, masih ada juga ternyata!” komentar Aries Eben (gitaris Burgerkill) bangga bercampur heran. “Malah radio ini yang pertama kali dapet dan muterin rekaman lengkap album baru Burgerkill yang justru belum kami rilis!”

Selain Senaputra, ada satu-dua radio eksperimen yang beroperasi secara gelap dan memutar lagu-lagu cadas meski dalam jadwal yang tidak teratur. Untuk media cetak hanyalah majalah Hai yang bisa dilahap sebagai panduan informasi musik rock di jaman itu. Sementara majalah musik yang lain seperti Aktuil atau Vista sejak dulu memang cukup sulit didapatkan di Malang.

Memasuki pertengahan dekade 90-an, Komunitas Gemma mulai tidak aktif. Sebagian besar band angkatan awal 90-an seperti kehilangan motor semenjak Gemma non-eksis. Contohnya Gusar yang bubar dan hanya menyisakan sebuah rekaman demo latihan studio (rehearsal). Atau Primitive Symphony yang ber-transformasi menjadi Bangkai, dan Abstain menjadi embrio grupband Sekarat. Sementara yang lain memilih untuk tidak aktif, vakum, atau bahkan bubar di tengah jalan.

Selama kurun waktu tersebut, musik rock dan metal masih menjadi pilihan utama telinga anak muda kota Malang. Eksistensi band mulai lebih kuat dan nyata melalui penciptaan karya lagu dan partisipasinya di berbagai event musik lokal. Mereka makin berani tampil di hadapan masyarakat dan menciptakan pemandangan komunitas baru di kota ini.

Era 1995 – 2000 ; Periode ‘Bawah Tanah’ Yang Memukul

Tidak lama setelah Gemma hilang dari peredaran, muncul kemudian babak baru yang mencerahkan. Generasi anyar yang berusia belasan tahun hadir mengisi lembaran kosong aktifitas rock dan metal di Malang. Mereka adalah anak-anak muda yang sebelumnya dibesarkan sebagai penonton, fans atau band peserta festival garapan Gemma. Mereka juga mengaku banyak belajar dari fenomena rock lokal selama kurun waktu tersebut.

Anak-anak muda inilah yang mulai mengenal idiom Underground (istilah dari pers/media bagi gerakan bermusik melalui jalur alternatif yang tidak umum dan tidak lazim) dan Do It Yourself atau D.I.Y (sistem kerja yang mandiri atau swadaya). Dari situ pula mereka mulai tahu yang namanya Scene (lingkungan komunitas yang berdasarkan kesamaan hobi, minat atau idealisme), Gigs (konser kecil) dan Squat (tongkrongan/basis).

Mereka lalu mempraktekkan nilai-nilai independensi dan etika Do It Yourself dalam bermusik. Mereka mulai membuat jaringan dengan komunitas serupa yang berada di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Jogja. Merasa datang dari kesamaan latar belakang dan masa tumbuh, yang kemudian bekerjasama dengan penuh rasa solidaritas, serta saling mendukung tanpa ada pengkotak-kotakan. Boleh dibilang mereka adalah anak muda yang mempelopori munculnya sebuah sub-kultur baru di kota Malang.

Bersaman dengan evolusi musik cadas, genre-genre metal yang lebih ekstrim dan aktual seperti aliran blackmetal, deathmetal hingga grindcore menjadi referensi utama anak-anak muda jaman itu. Mereka mulai tertantang untuk bermain musik dan membentuk band baru. Lahirlah kemudian band-band dengan nama unik dan cenderung seram seperti Rotten Corpse, Perish, Sekarat, Santhet, Genital Giblets, Grindpeace, Sacrificial Ceremony atau Ritual Orchestra.

Band-band tersebut awalnya tumbuh dengan lagu-lagu karya band asing (coversong), sambil sesekali mencoba menulis karya lagu sendiri. Jika ada kesempatan mereka berupaya manggung pada event parade atau festival musik yang mengharuskan setiap band membayar biaya pendaftaran. Tak jarang mereka rela patungan dan membawa fans atau suporter sendiri dalam misi menyebarkan eksistensi serta idealisme bermusik mereka.

Beberapa pertunjukan musik lokal yang merangkum aksi band-band underground saat itu antara lain ; Fisheries karya mahasiswa Fakultas Perikanan Unibraw, Independent (ITN), RMC garapan muda-mudi karang taruna di Singosari, serta sejumlah parade musik di GOR Pulosari dan gedung DKM.

Para maniak musik cadas itu kemudian membidani kelahiran sebuah komunitas underground lokal yang bernama Total Suffer Community (TSC) pada pertengahan tahun 1995. Obsesi awal mereka saat itu hanya ingin membuat konser musik underground yang pertama di Malang. Proyek tersebut berhasil diwujudkan melalui event Parade Musik Underground (PMU) di gedung Sasana Asih YPAC, pada tanggal 28 Juli 1996. PMU sendiri akhirnya menjadi serial gigs lokal terbesar yang mampu mencapai sekuel ketiga (1998), dan selanjutnya menjadi landmark bagi konser-konser underground selanjutnya.

Kehadiran TSC membuat scene musik cadas di kota Malang makin semarak. Mereka juga turut mewarnai gaya hidup dan budaya lokal kaum muda. Anak-anak muda yang hampir selalu berkostum item-item itu seringkali terlihat bergerombol di sekitar kantor Kabupaten depan Malang Plaza, Food Center Hero Supermarket, atau di seberang Dieng Plaza pada setiap pekannya. Nongkrong mingguan yang disertai sharing informasi musik cadas itu makin membuka wawasan mereka tentang berbagai aktifitas di dalam scene underground.

Dari situ perkembangan musik di kancah lokal otomatis semakin maju. Genre dan selera musik menjadi lebih beragam dan variatif. Selain rock dan metal, aliran musik lain seperti punk, hardcore dan industrial mulai ikut mewabah. Bertambahnya anggota baru membuat TSC merangkumnya ke dalam divisi-divisi khusus yang didasarkan atas aliran musik. Hal itu semata-mata untuk mempermudah komunikasi di setiap kalangan genre musik yang ada.

Masing-masing kalangan genre tersebut akhirnya membuat squat sendiri. Mereka kerap berkumpul, berbincang dan merancang upaya untuk mengembangkan wawasan musiknya. Banyak cara yang biasa mereka lakukan seperti melalui pertunjukan musik atau meng-order kaset, CD, majalah musik dan kaos band favorit dari luar negeri.

Munculnya squat-squat kecil tidak hanya berdasarkan pada pilihan genre musik saja. Seperti maraknya tawuran antar geng kampung di jaman itu, sejumlah squat yang eksis secara geografis juga muncul di beberapa wilayah atau daerah penting.

Sebut saja Sumbersari yang identik dengan blackmetal sehingga disebut Triple S (Sumbersari Satan Service). Kemudian anak-anak deathmetal di Sanan dan Bango, atau arek Sukun yang meng-klaim kampung mereka sebagai Florida-nya Malang. Daerah Oro-oro Dowo juga dikenal memiliki basis punk dan hardcore yang kuat. Begitu juga wilayah Bareng yang sudah dikenal rock n’ roll sejak tempo doeloe. Ditambah lagi keberadaan squat di kampung-kampung lain seperti Ketawang Gede (Dinoyo), Kotalama, Selorejo, Pakis, Batu dan sebagainya.

Uniknya, squat yang tumbuh di sejumlah kampung itu justru produktif dan membuat scene kota Malang lebih dinamis. Beberapa di antaranya bahkan mampu membuat gigs-gigs lokal yang penting. Misalnya saja anak-anak kampung Sukun dengan gigs andalannya Chaos Sukun Live, lalu kampung Sanan dan Bango berkolaborasi dalam event musik Krisis, atau arek Selorejo dengan serial Ontrant-Ontrant yang sudah digelar sampai empat kali.

Pada pertengahan tahun 1996 beberapa anak muda menggagas penerbitan media cetak independen. Media itu dimaksudkan untuk menjaring informasi dan komunikasi yang lebih intens di kalangan publik underground. Terbitlah kemudian Mindblast, sebuah fanzine metal yang bertahan hingga tiga edisi sampai tahun 1998. Media sederhana berformat fotokopian semacam itu makin marak dan terus berlanjut dengan kemunculan Imbecile, Escort, Brain To Think Mouth To Speak, Kemerdekaan Zine, Ndeso Zine, serta beberapa fanzine dan newsletter lokal lainnya.

Peran media radio juga masih aktif men-support komunitas ini. Selain Senaputra, beberapa radio swasta dan eksperimen kampus juga mulai membuka airtime-nya untuk berbagai jenis musik keras. Salah satunya adalah radio Bhiga FM milik unit kegiatan mahasiswa Unmer Malang.

Ironisnya, scene musik lokal yang makin berkembang itu justru mengalami tragedi yang cukup menyesakkan dada. Di awal tahun 1997, GOR Pulosari menjadi venue sebuah festival musik yang digagas mahasiswa STIEKN Malang. Acara tersebut mengundang Pas Band, Burgerkill, dan Forgotten dari Bandung, serta sejumlah band lokal seperti Perish dan Sekarat. Ternyata momen itu adalah pertunjukan musik yang terakhir kalinya di venue tersebut.

Kabarnya, GOR Pulosari akan direnovasi, namun yang terjadi kemudian malah berubah menjadi supermarket. Situs rock lokal yang bernilai sejarah tinggi itu akhirnya tinggal kenangan. Proyek peralihan fungsi GOR Pulosari bisa dianggap sebagai salah satu dosa terbesar pemerintah daerah terhadap perkembangan seni dan musik di kota Malang. Alhasil frekuensi pertunjukan musik rock juga sempat merosot drastis.

Sementara itu etos kerja DIY yang dijalankan oleh komunitas underground ternyata cukup membantu aktualisasi mereka. Kesalahan rocker-rocker generasi lama yang tidak mendokumentasikan karyanya dalam bentuk rekaman mulai diperbaiki oleh generasi saat itu. Minimnya sarana studio recording di Malang tidak bikin band lokal ketinggalan dalam proses merekam materi demo lagu-lagu mereka.

Memperbanyak jam terbang dengan manggung di berbagai tempat juga jadi target mereka yang lain. Undangan show di luar kota juga disabet meski dalam budget dana yang minim atau tanpa bayaran sekalipun. Saat itu berkarya, bikin rekaman dan pengalaman pentas adalah tiga hal utama yang ingin dicapai setiap band agar eksistensinya semakin diakui publik.

No Man’s Land tercatat sebagai band Malang pertama yang mampu membuat demo dan memasarkannya secara gerilya kepada publik. Keberanian band punkrock tersebut untuk merilis album Separatist Tendency menjadi sangat fenomenal. Sebab ketika itu nama mereka notabene masih sangat baru dan belum terlalu dikenal publik. Tanpa diduga, Separatist Tendency berhasil terjual dari tangan ke tangan dan menjadi salah satu album lokal yang klasik hingga sekarang.

Di sektor metal, Rotten Corpse adalah nama band yang paling populer saat itu. Selain sering menjajah panggung lokal, mereka juga pernah diundang manggung di berbagai kota mulai dari Surabaya, Jakarta sampai Bandung. Nama mereka mulai diakui secara nasional saat tampil pada sejumlah pentas underground yang fenomenal di jaman itu, seperti Bandung Underground 2 (1996), Total Noise Jakarta (1996), dan Bandung Berisik 2 (1997).

Setelah merilis demo secara independen, Rotten corpse akhirnya rekaman di studio Natural (Surabaya) dan menghasilkan album Maggot Sickness. Rilisan berformat kaset yang diproduksi Graveyard Production itu termasuk sukses untuk skala pasar metal yang sempit. Rekaman tersebut bahkan sempat dirilis ulang oleh sebuah label dari Malaysia untuk pasar distribusi di Asia.

Kesuksesan Maggot Sickness baik secara mutu musik maupun reaksi pasar untuk sementara ini masih dianggap sebagai patok tertinggi dalam sejarah rilisan album lokal dari Malang. Album tersebut bahkan masuk dalam deretan 20 Album Rock Revolusioner di Indonesia yang dimuat pada majalah MTV Trax2 edisi Agustus 2004.

Band-band lokal yang lain juga cukup aktif dan produktif. Contohnya Sekarat berhasil merilis dua album independen, serta sempat manggung di Bali, Sidoarjo dan Surabaya. Kemudian Perish yang album From The Rising Dawn-nya mencapai penjualan sold-out. Mereka bahkan menjadi nama yang fenomenal bagi kalangan blackmetal di negeri ini, dan sempat diundang tampil di Jogja, Bandung, Jakarta hingga Denpasar. Nasib baik juga dialami Ritual Orchestra yang show-nya merambah hingga ke luar Jawa dan albumnya laris manis di pasaran.

Kemunculan label-label rekaman lokal seperti Confuse Records, Bittersounds, Raw Tape, atau Youth Frontline makin membuat kota ini bergairah. Beberapa rekaman lain yang sempat beredar ketika itu antara lain; Keramat “Approximate Death”, Bangkai “For What?!”, Extreme Decay “Bastard”, Mystical “Sawan Bajang”, HorridTruth/Boisterous “Split”, Antiphaty “W.A.R”, No Man’sLand “Punkrock & Art-School Drop Outs”, Don’t Regret “Violence Cause”, Stolen Vision “They Makes Me Stronger”, The Babies “Malang City Punk Rocker”, dan masih banyak lagi.

Setelah pasar nasional sudah dikoyak, giliran band lokal coba merambah pasar internasional. Mereka mulai melakukan kerjasama bilateral dengan jaringan label atau band serupa di luar negeri. Usaha itu cukup behasil, rilisan mereka bahkan dipasarkan sampai ke mancanegara. Upaya yang termasuk brilian dan patut dibanggakan. Setidaknya mereka turut mengharumkan nama Indonesia di peta musik underground internasional.

Extreme Decay adalah salah satu contoh band yang aktif dalam berbagai proyek kompilasi dan split-tape internasional. Mereka sempat bekerjasama dengan grupband Agathocles (Belgia), Demisor (S’pore), dan Parkinson (S’pore), serta berbagai label distribusi di Eropa dan Amerika. Contoh lainnya, No Man’s Land sempat merilis split-tape dengan Karatz (M’sia), atau Ritual Orchestra dan Perish juga pernah merasakan proyek kompilasi internasional.

Tidak hanya dalam hal rekaman, di sektor pertunjukan musik pun arek-arek Malang juga tidak mau ketinggalan. Berbagai jenis konser dan gigs yang dikelola secara mandiri mulai digelar di sana-sini. Kebanyakan muncul dengan nama titel acara yang unik, seperti Independent, Konflik, Spektakuler, Pakis Parah, Expose, MCHC, The Sound of Fury, dan lain sebagainya.

Setelah GOR Pulosari raib, pertunjukan musik keras lebih sering memilih aula sekolah atau kampus sebagai venue-nya. Setiap acara biasanya mematok aksi 20 – 30 band dengan harga tiket antara 3000 sampai 5000 rupiah. Terkadang pihak panitia juga menyertakan band luar kota yang populer sebagai bintang tamunya, seperti Hellgods (Bdg), Slowdeath (Sby), Noise Damage (Bdg), Vexation (Bdg), Trauma (Jkt), Death Vomit (Jogja) dan lain sebagainya.

Selama rentang tahun 1996 – 2000 menjadi masa-masa terbaik bagi scene underground Malang. Banyaknya konser dan produk rekaman lokal yang disertai dengan eksistensi media serta label independen menjadi bukti produktifitas mereka. Dengan usaha independen dan pemanfaatan jaringan, mereka mampu berkarya meski tanpa dukungan pihak industri mayor. Kota Malang pun mulai dianggap sebagai salah satu basis underground yang aktif, penting dan disegani oleh publik nasional.

Era 2000 – 2006 ; Periode Evolusi, Tehnologi dan Industri

Memasuki masa milenium ketiga, scene underground Malang mulai mengalami ujian berat. Label rekaman seperti Confuse, Youth Frontline dan Bittersound tidak terlalu aktif lagi. Hal tersebut membuat band jadi kesulitan dalam merilis rekaman. Ditambah lagi raibnya media seperti Mindblast atau Escort tanpa alasan yang jelas. Otomatis aktifitas produksi rekaman dan gelaran gigs sempat merosot tajam.

Fenomena tersebut rupanya didorong oleh proses re-generasi di dalam scene itu sendiri. Faktor seleksi alam mulai terjadi di tubuh komunitas underground saat itu – baik secara personal maupun kelompok atau band. Teori evolusi ‘survival of the fittest’ mulai menampakkan diri, dan pepatah ‘only the strong will survive’ menjadi ada benarnya dalam sebuah proses pertumbuhan.

Alasan lainnya adalah imbas dari perubahan global pasca krisis ekonomi dan orde reformasi – di mana saat itu peran industri dan tehnologi makin mendominasi. Masyarakat menjadi lebih ekonomis dan praktis dalam berpikir. Arus informasi dan trend makin deras tidak terbendung. Kondisi itu memang berlangsung singkat dan menjadi shock therapy sejenak.

Di masa-masa awal yang berat itu, sejumlah band mencoba tetap bertahan dalam ruang aktifitas yang makin sempit dan terbatas. Namun sebagian telah memilih bubar, vakum, atau bikin band baru dengan konsep musik yang lebih aktual. Hanya konsistensi yang berhasil memaksa mereka tetap eksis bergerak dan berkarya.

Sejumlah band masih melanjutkan karirnya. Keramat dikontrak label metal asal Bandung untuk merilis album keduanya, Vomiting Hatred. Lalu rilisan Extreme Decay sempat diproduksi oleh label asing di USA, Turki dan Malaysia. Beberapa rilisan baru dari Breath of Despairs, Skatoopid, Antiphaty, dan Dissafection berhasil diluncurkan.

Sejumlah band baru mulai muncul, berkarya dan tampil di panggung lokal. Beberapa nama yang bisa dicatat antara lain Begundal Lowokwaru, No Lips Child, Primitive Chimpanzee, Freshwater Fish, Screaming Factor dan masih banyak lagi.

Arus globalisasi dan tehnologi informasi yang melaju keras mulai mempengaruhi segala aspek kehidupan kawula muda. Fenomena tersebut ikut mengenalkan scene underground kepada proses rekaman digital, ekuipmen musik dan sound system mutakhir. Perangkat media yang paling mutakhir dan mampu merubah hidup generasi muda ketika itu adalah internet.

Internet sebagai panglima tehnologi abad 21 menjadi media yang diakrabi komunitas underground. Mereka makin sering memesan CD, majalah metal dan kaos band secara online. Setiap band mulai aktif berkomunikasi dan mempublikasikan dirinya lewat channel Friendster atau My Space. Hampir setiap tengah malam mereka bisa ditemui di sejumlah warnet seperti Primanet, Freshnet atau Suryanet.

Ketika itu fenomena distro juga mulai merambah kota Malang. Awalnya memang distro, shop dan clothing company itu berasal dari ide dan gerakan para aktifis scene musik lokal. Generasi pertama distro dan shop lokal yang muncul di Malang antara lain Smash, Plus-Minus, Red Cross, Inspired, Nitro, dan Libertarian. Kemudian makin berkembang lebih banyak dan beragam seperti Magnetic, Rock Bandits, Childplays, Realizm, Revolver 99, Anthem dan sebagainya.

Keberadaan distro memang cukup membantu perkembangan scene underground, terutama dalam hal distribusi produk lokal seperti album rekaman dan merchandise (dagangan berupa kaos, sweater, pin, emblem, dsb). Distro-distro tersebut juga kerap mendukung produksi gigs lokal, baik itu sebagai promotor maupun sponsor. Dalam perkembangannya distro juga menjadi alternatif squat yang menarik dan sering ditongkrongi komunitas underground.

Gegap gempita scene underground selalu diwarnai dengan kultur khas anak muda. Selain peradaban fashion yang dipelopori distro dan clothing – mulai muncul juga dua jenis olahraga ekstrim yang dekat dengan komunitas ini, yaitu skateboarding dan sepeda BMX.

Mereka yang hobi extreme sport itu kebanyakan adalah anak-anak band atau setidaknya penggemar fanatik musik cadas. Mereka kerap ditemui sedang berlatih di sejumlah spot seperti di jalan Panggung, Ijen, Balai Kota, serta pelataran kampus-kampus yang ada di Malang.

Sejumlah daerah tongkrongan atau squat baru juga muncul di beberapa tempat. Kebanyakan spot-spot itu mengambil lokasi kedai kopi atau warung jajanan tradisional, seperti yang ada di daerah Sumbersari, Klojen atau Moskow, dan sekitar Pasar Besar. Biasanya mereka nongkrong sejak siang hingga malam hari selepas jadwal sekolah, kuliah atau kerja.

Gelaran konser juga mulai diaktifkan kembali. Festival musik cadas yang cukup dikenal adalah Brotherhood dan Hardcore Attack. Sebagian anak juga merancang pertunjukan kecil berskala gigs, showcase, promoshow atau party di cafe/resto lokal. Selain hall milik sekolah dan kampus, beberapa venue yang sering digelari event-event cadas antara lain Swing Café dan gedung KNPI.

Maraknya konser-konser underground tidak luput juga dari peran beberapa organiser yang terus bermunculan. Sejumlah nama penting yang sering merancang gigs adalah Kolektif Radiasi, Raw Power, Youth Power, dan sebagainya. Lewat tangan dan kerja mereka frekuensi rock show di kota Malang masih terjaga baik dan makin berkembang. Event-event itu makin meriah dengan dukungan dari dalam scene lokal sendiri, seperti distro, clothing company, media atau label lokal.

Scene underground sebenarnya bukan melulu tentang musik ekstrim saja. Bukan berarti band yang tidak punk, bukan hardcore dan jauh dari metal itu tidak layak disebut underground. Di era 2000-an, istilah ‘underground’ mulai digantikan oleh term ‘indie’ (akronim dari kata independen). Istilah ‘indie’ mulai sering dipakai karena dianggap relatif lebih aman dan enak di telinga. Padahal kedua frase tersebut sebenarnya menjalankan taktik yang serupa, serta memiliki makna yang serupa-duabelas dan tidak perlu dipertentangkan.

Term ‘indie’ sendiri mulai sering dipakai sejak musik rock makin variatif dan melahirkan (sub)genre baru di kalangan anak muda, seperti indie-pop, brit-rock, elektronik, new wave, ska atau alternatif. Komunitas dengan genre musik seperti itu memang cukup eksis di kota ini. Mereka juga kerap melakukan aktifitas konser musik, rilisan demo, hingga menerbitkan media sendiri. Band-band lokal sejenis itu yang bisa dicatat antara lain Fan, Hectic, Rel, Peka dan Banana Co.

Setelah sebelumnya scene musik di kota ini terbagi atas beberapa golongan besar, seperti underground (metal dan grindcore), punk, hardcore, grunge dan kemudian indie. Kemunculan ‘indie’ memang sempat menjadi trend anak muda dan ikut membantu di sisi promosi dan pengenalan segala jenis band lokal pada kaum awam. Tak heran jika kemudian muncul komunitas dan band-band yang mengaku ‘indie’ tanpa alasan dan praksis yang jelas di kota ini

Ke-naif-an juga seringkali terjadi di kota Malang. Di jaman modern seperti sekarang kita mungkin masih bisa menemui studio musik atau poster acara musik yang memuat tulisan ‘No Punk, No Thrash, No Underground’. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih berpikiran sempit, dan kurang wawasan terhadap komunitas atau genre musik tertentu.

Pada tahun 2001 muncul Solidrock, sebuah media penerbitan yang mengulas segala aktifitas scene rock lokal. Hingga tahun 2004 Solidrock telah membuat empat edisi majalah, dan sejumlah newsletter. Media-media lain yang sempat bermunculan di era-era terakhir ini antara lain ; The Endfeel, Cempluk, Delirium, Loudly Press, Gronzero, atau Teenage Volume.

Sayangnya peran media lokal – koran, radio dan televisi – masih setengah-setengah dalam mengangkat aktifitas scene underground di kota malang. Ironisnya justru media luar kota bahkan luar negeri yang kerap memberitakan band, konser dan aktifitas mereka. Tercatat hanya radio Senaputra, Bhiga FM dan MFM yang masih rutin mengudarakan musik-musik cadas yang berkualitas.

Sejak tahun 2005, aktifitas ‘merilis album’ juga mulai muncul kembali setelah sekian lama vakum. Screaming Factor sukses melempar debut albumnya melalui label lokal Fukyu Records. Sementara nama-nama lain seperti Brigade 07, Kids Next Door, Soldier Embrace, Spiky In Venus, atau Snickers and The Chicken Fighter pastinya sedang menanti waktu untuk melakukan hal yang serupa.

Sementara itu berbagai gigs makin semarak dan diisi oleh band-band yang berkualitas. Tidak hanya musisi lokal, beberapa band luar kota seakan terus bergantian datang unjuk kebolehan di hadapan arek-arek Malang, seperti misalnya Burgerkill (Bandung), Suicidal Sinatra (Bali), Jeruji (Bdg), Disinfected (Bdg), Down For Life (Solo), The Sastro (Jakarta), Pure Saturday (Bdg), Homogenic (Bdg), dan masih banyak lagi.

Fenomena lain yang menarik adalah band-band asing seperti Wojczech dan G-Las (Jerman), Cluster Bomb Unit, Ingrowing (Ceko), Vivisick dan FOTB (Jepang), hingga 7Crowns dan The Exploited (UK) yang datang merangkai show di kota kecil ini. Sebuah kabar yang menyenangkan, bahwa setiap pertunjukan musik cadas di Malang masih tetap berlangsung seru dan panas.

Belakangan ini sering diadakan showcase dan promo-show di Warung Apresiasi Seni (Wapres) yang terletak di daerah pertokoan Sawojajar. Hampir setiap akhir pekan digelar gigs sederhana untuk band-band pendatang baru. Tercatat berbagai musisi lokal hingga band dari Surabaya, Bali dan Malaysia pernah menjajal manggung di sana. Bisa jadi venue kecil itu bakal ditasbihkan sebagai situs penting untuk perkembangan bibit rocker lokal di kemudian hari.

Merancang Masa Depan Scene Underground di Malang

Scene underground bisa besar dan maju hanya dengan memanfaatkan kekuatan jaringan. Komunitas ini selalu percaya kepada frase ‘komunikasi adalah kunci’. Jaringan mereka hingga saat ini sudah tersebar melintasi kota, pulau, negara bahkan benua. Itu yang bikin komunitas underground semakin percaya diri, independen dan produktif.

Aktifitas scene underground di Malang masih dijalankan secara swadaya oleh para pelaku dari komunitas itu sendiri. Skala pasarnya pun masih sempit dan segmented, serta belum menyentuh selera masyarakat luas. Bisa dikatakan komunitas ini masih bekerja sendiri dalam skala memenuhi ekspektasi mereka sendiri.

Sebagian besar band lokal masih menangani sendiri segala proses rekaman, produksi, promosi hingga distribusi album mereka. Konser dan media publisitas pun dirancang secara swadaya dengan support yang terbatas dari pihak internal seperti distro atau clothing.

Independensi bukan berarti mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Bekerja sama dan bermitra akan membuat segala aktifitas menjadi lebih mudah dan menjanjikan. Misalnya dengan menggaet media cetak dan elektronik untuk membantu porsi publisitas. Distro dan clothing company pun biasanya interes untuk melakukan endorsement (jasa sponsor) pada band. Contoh lain adalah menjaring investor untuk membantu produksi pertunjukan, rilisan rekaman atau aktifitas yang lain.

Sementara itu kantong-kantong sarana pendukung dan infrastruktur juga masih banyak yang perlu diisi dan diperbaiki. Keberadaan label rekaman, institusi manajemen band, music publisher, media publikasi, distributor, hingga organiser gigs bakal mampu menciptakan progres yang jauh lebih maju dan berkembang.

Peran tehnologi internet akan tetap penting dan dominan di abad ini. Jika dikelola dengan baik, media internet bisa jadi jalur promosi dan publikasi yang tepat. Caranya bisa merancang situs resmi, blog atau maling-list yang resmi. Atau memanfaatkan media Friendster dan MySpace yang telah terbukti makin diminati oleh semua insan industri musik di mana-mana.

Apalagi band-band lokal yang potensial saat ini terus bermunculan di kota Malang. Sebagian besar masih berusia muda, punya talenta dan sangat berpeluang menjadi besar. Sayang sekali jika kemudian bakat dan kemampuan mereka tidak tersalurkan dengan baik. Asalkan mereka tetap bekerja keras dan produktif rasanya tak sulit untuk ‘menaklukkan’ scene underground, atau bahkan industri musik sekalipun!

Sudah sekian lama scene underground mewarnai peradaban musik dan kultur generasi muda di Malang. Komunitas ini akan terus eksis sambil membangun pondasi scene lokal yang lebih kuat. Mereka tidak ingin disebut ‘pahlawan’ meski telah menjalani petualangan yang seru dan heroik selama ini.

Mereka telah berproses dari sekedar selera dan hobi menuju suatu pilihan gaya hidup dan kantong industri. Melancarkan subkultur unik yang dipandu oleh hentakan musik keras, dandanan khas dan semangat kerja independen. Kondisi tersebut bukanlah suatu trend anyar yang akan musnah dalam sesaat. Kejadian di ‘bawah tanah’ kota Malang ini telah terekam selama tiga dekade dan lintas generasi, yang mencakup ribuan anak muda dan ratusan karya. Dann semua ini masih terus berjalan…

*Artikel ini ditulis untuk sebuah kolom serial di sebuah harian surta kabar regional Jawa Timur, September-Oktober 2006. Versi revisi dan lebih komplit dari artikel ini pernah saya muat juga di Apokalip.com secara berseri.

17 thoughts on “Sebuah Kisah Heroik Dari ‘Bawah Tanah’ Kota Malang

  1. terdokumentasi sekali!, untuk menambah lengkapnya data pendukung yang otentik agar tidak menjadi sebuah opini, ane tambahin data sebagai hasil dari yang diceritakan penulis diatas.

    No Man’s Land discography :
    http://nomansland94.bandcamp.com/

    official home page :
    http://www.nomanslandoi.com/

    didalam website diatas terdapat foto-foto perjalanan dari awal hingga saat ini, serta hasil karya yang sudah menjadi bagian komunitas dunia.

    salam,

    Mbah Singo

  2. So good.
    Triems Ker,artikel ini sudah bs jadi penghargaan tuk komunitas musik Malang umumnya. &tentunya apresiasi positife dr GUSAR khususnya.
    GUSAR pun sampe detik ini & kedepan tetep tdk kehilangan bervisi tuk membangkitkan Malang dlm dunia ini,gar bisa meledak d kancah dunia.
    Mari kita buktikan,Malangpun punya yg kelas dunia. Tunjukkan itu!!!

  3. Spiky in venus teringat drummer keren malang fariz bin abdullah…nang ndi arek iku?

  4. Mboys ulasan e iki kipa.. yg blm di genre rock yg underground atau indie… tp ini sdh sangat cukup mewakil.. mboys sam.. 👍

Leave a reply to Adon Saputra Cancel reply